Rabu, 15 Desember 2010

Bid'ah kah Perayaan Maulid Nabi ???

Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang baru. Sedangkan dalam makna syar’i, bid’ah adalah ibadah ritual / mahdhah yang diada-adakan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Misalnya seseorang melakukan shalat, tetapi cara dan ketentuannya dibuat sendiri tanpa mengikuti petunjuk dari tata cara shalat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, maka itu adalah perbuatan bid’ah. Namun umumnya para ulama mengkhususkan perkara ibadah ritual / mahdhah saja yang termasuk kategori bid’ah yang terlarang atau yang sesat. Sedangkan berkaitan dengan masalah umum dan perkara di luar ibadah mahdhah, maka bukan termasuk bid’ah yang sesat. Misalnya, dahulu Rasulullah SAW bepergian dengan mengedarai unta atau kuda, maka bila pada hari ini kita naik mobil, kereta atau pesawat terbang, tidak termasuk kategori bid’ah yang sesat.
Karena kehidupan itu berkembang, teknologi pun mengalami pergeseran. Apa yang di masa Rasulullah SAW itu ada, boleh jadi hari ini sudah tidak ada lagi. Dan apa yang kita dapati pada hari ini, di masa beliau belum ada.
Khusus masalah peringatan maulid (kelahiran) nabi SAW, memang Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah mendapati suatu hadits / nash yang menerangkan bahwa pada tiap tanggal 12 Rabiul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya.

Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat Ridhwanullahi `alaihim melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in dan para salafunas salih. Bahkan sekian generasi berikutnya dari umat Islam tidak pernah melakukan hal itu.
Menurut perkiraan, diantara yang mempelopori pelaksanaan perayaan hari kelahiran Rasulullah SAW adalah sulan Muhammad Qutuz yang saat itu sedang dalam posisi terdesak yang berusaha mendapatkan momentum untuk menggairahkan kembali semangat juang umat Islam.
Maka dengan memanfaatkan momentum hari kelahiran Rasulullah SAW yaitu pada tanggal 12 Rabiul Awwal (sebagian ahli sejarah menetapkan 9 Rabiu`l Awwal sebagai hari kelahiran beliau), diselenggarakanlah perhelatan besar. Intinya menghimpun semangat juang dengan membacakan syiir dan karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran Rasulullah SAW.
Diantaranya yang paling terkenal adalah karya Syeikh Al-Barzanji yang menampilkan riwayat kelahiran Nabi dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Saking populernya, sehingga karya seni Barzanji ini hingga hari ini masih sering kita dengar dibacakan dalam seremoni peringatan maulid nabi.
Jadilah sejak itu ada tradisi memperingati hari kelahiran nabi SAW di banyak negeri Islam. Inti acaranya sebenarnya lebih kepada pembacaan sajak dan syi’ir peristiwa kelahiran Rasulullah SAW untuk menghidupkan semangat juang dan persatuan umat Islam dalam menghadapi gempuran musuh.
Lalu bentuk acaranya semakin berkembang dan bervariasi. Di Indonesia, terutama di Betawi, para kiyai dulunya hanya membacakan syiir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid yang sudah melekat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam. Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada.
Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat.
Kembali kepada hukum merayakannya apakah termasuk bid’ah atau bukan, memang secara umum para ulama salaf menganggap perbuatan ini termasuk bid’ah. Karena tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW dan tidak pernah dicontohkan oleh para shahabat dan salafussalih. Berangkat dari dasar ini, sebagian umat Islam dan ormas pun tidak menjadikan peringatan maulid sebagai tradisi kegiatan.
Namun realitas di dunia Islam, ternyata fenomena tradisi maulid Nabi itu tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam. Kalangan awam diantar mereka barangkali tidah tahu asal-usul kegiatan ini. Tapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama berargumen bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah / ritual peribadatan dalam syariat. Buktinya, bentuk isi acaranya bisa bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan semangat dan gairah ke-Islaman.
Diantara mereka ada yang berujjah dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadits itu menerangkan bahwa pada setiap hari senin, Abu Lahab diringankan siksanya di neraka dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Hal itu dikarenakan bahwa saat Rasulullah SAW lahir, dia sangat gembira menyambut kelahirannya sampai-sampai dia merasa perlu membebaskan budaknya yang bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah. Kegembiraan orang tidak beriman ini atas kelahiran Rasulullah SAW sudah cukup mendapatkan ganjaran berupa keringanan siksa di neraka. Apalagi orang Islam yang bergembira dengan kelahiran Nabinya.
Namun rasanya hujjah ini tidak terlalu kuat, karena tidak mengandung ajaran atau tuntunan dengan perayan maulid itu sendiri. Selain itu, Rasulullah SAW belum lagi menjadi seorang Nabi yang membawa risalah. Padahal yang termasuk dalam tasyri’ adalah perbuatan, perkataan dan taqrir Rasulullah SAW saat menjadi Nabi.
Wallahu a’lam bis-shawab.

Sumber : http://mii.fmipa.ugm.ac.id/?p=108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar