Minggu, 26 Desember 2010

Bersedihlah Ketika Membaca Al-Qur’an!

Ketika membaca Al-Qur’an memang kita dianjurkan untuk bersedih sebagai hasil renungan dan tadabbur makna-makna ayat sebagaimana yang dijelaskan dalam sunnah. Adapun hadits di bawah ini, sekalipun sebagian maknanya benar, namun ia bukan hujjah dalam hal ini, karena kelemahan hadits ini. Nash haditsnya:


اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ بِحُزْنٍ فَإِنَّهُ نَزَلَ بِالْحُزْنِ

"Bacalah Al-Qur’an dengan perasaan sedih, karena dia turun dengan kesedihan". [HR. Al-Khollal dalam Al-Amr Bil Ma’ruf (20/2) dan Abu Sa’id Al-A’robiy dalam Mu’jam-nya (124/1)].

Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Uwain bin Amr Al-Qoisiy, dia adalah seorang yang mungkarul hadits lagi majhul menurut Al-Bukhariy. Selain itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin Saif, dia adalah seorang yang biasa mencuri hadits, dan meriwatkan hadits yang lemah dari orang-orang yang tsiqoh. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan hadits ini dho’if jiddan (lemah sekali) dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2523).

Sumber : Ensiklopedia Hadits Lemah, Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 54 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Kekasih Allah

Orang yang bertaubat dari dosa-dosanya adalah orang yang terpuji di sisi Allah berdasarkan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun hadits berikut ini, maka dia adalah hadits yang palsu, tidak ada asalnya:


التَّائِبُ حَبِيْبُ اللهِ

"Orang yang bertaubat adalah kekasih Allah."

Hadits ini adalah hadits yang bukan berasal dari nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . tak ada seorang imam ahlul hadits yang meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka. Hadits ini hanyalah disebutkan oleh Al-Ghazaliy dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin (4/434) dengan menyandarkannya kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , padahal hadits ini adalah hadits palsu, tidak ada asalnya! Lihat penjelasan palsunya hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (95) karya Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy

Sumber : Rubrik Hadits Lemah Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 55 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber : http://almakassari.com/?p=246

Do’a Keluar WC ???

Ada sebuah hadits yang menyebutkan do’a keluar WC. Do’a ini banyak disebarkan dan dimasyurkan di TPA dan TQA. Ternyata haditsnya lemah sebagaimana dalam penjelasan berikut ini:


الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنِّيَ الْأَذَى وَعَافَانِيْ

" Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku gangguan (kotoran) ini, dan telah menyehatkan aku". [HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (301)]

Hadits ini adalah hadits yang dho’if, karena dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Ismail bin Muslim Al-Makkiy. Dia adalah seorang yang lemah haditsnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib. Hadits ini memiliki syahid dari riwayat Ibnu Sunniy dalam Amal Al-Yaum wal Lailah (29). Namun hadits ini juga lemah, karena ada seorang yang majhul dalam sanadnya, yaitu Al-Faidh. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (53).

Sumber : Hadit Dhoif Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 61 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber : http://almakassari.com/?p=264

Ketentuan dan Taqdir Allah

Ketentuan dan taqdir Allah adalah perkara ghaib yang tidak boleh ditetapkan dengan hadits lemah, apalagi palsu, seperti hadits ini:

إِذَا أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ ؛ سَلَبَ ذَوَيْ الْعُقُوْلِ عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يُنْفِذَ فِيْهِمْ قَضَاءَهُ وَقَدَرَهُ

"Apabila Allah ingin melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya, maka Allah akan menarik (menghilangkan) akalnya orang-orang yang memiliki pikiran sehingga Allah melaksanakan ketentuan, dan taqdir-Nya pada mereka". [HR. Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (14/99), Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/100), dari jalur Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbihan (2/332)]

Hadits ini lemah, bahkan boleh jadi palsu , karena rowi yang bernama Lahiq bin Al-Husain. Sebagian ahlul hadits menuduhnya pendusta, dan suka memalsukan hadits. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy memasukkannya dalam kitabnya Adh-Dho’ifah (2215)

Sumber : Hadit Dho’if Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 64 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber : http://almakassari.com/?p=271

Taubat yang Benar

Seorang ketika telah bertaubat dari suatu dosa, hendaknya ia berusaha dengan sekuat tenaga meninggalkan dosa itu sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’ kita. Adapun hadits berikut, maka ia adalah hadits dho’if (lemah):

التَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ أَنْ لَا تَعُوْدَ إِلَيْهِ أَبَدًا

"Taubat dari dosa, engkau tidak kembali kepadanya selama-lamanya". [HR. Abul Qosim Al-Hurfiy dalam Asyr Majalis min Al-Amali (230), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (7036)]

Hadits ini lemah , karena dalam sanadnya terdapat rowi yang bernama Ibrahim bin Muslim Al-Hijriy; dia adalah seorang yang layyinul hadits (lembek haditsnya). Selain itu, juga ada Bakr bin Khunais, seorang yang shoduq (jujur), tapi memiliki beberapa kesalahan. Karenanya Syaikh Al-Albaniy melemahkannya dalam Adh-Dho’ifah (2233)

Sumber : Hadit Dho’if Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 66 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
 

Sumber : http://almakassari.com/?p=275

Sosok Pembaharu Bukanlah Pengacau Agama, Politikus atau Pemberontak

Sulaiman ibnul Asy’ats As-Sijistani yang lebih dikenal dengan kunyahnya Abu Dawud rahimahullahu berkata: Sulaiman bin Dawud Al-Mahri telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahb telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Sa’id bin Abi Ayyub, dari Syarahil bin Yazid Al-Ma’afiri, dari Abu ‘Alqamah, dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau pernah bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِئَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus bagi umat ini di penghujung setiap seratus tahun (seabad) seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini.”
Hadits ini Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud As-Sijistani rahimahullahu dalam Sunan-nya no. 4291. Dikeluarkan pula oleh Al-Imam Abu ‘Amr Ad-Dani dalam As-Sunan Al-Waridah fil Fitan no. 364, Al-Imam Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, 4/522, dan selain mereka seperti Al-Imam Al-Baihaqi, Al-Khathib, dan Al-Harawi.
Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkan hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, Ash-Shahihah no. 599, dan Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 1874. Beliau berkata: “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah (terpercaya), merupakan perawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu (dalam Shahih-nya).” (Ash-Shahihah, 2/148)
Beliau juga mengatakan: “(Faidah): Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengisyaratkan shahihnya hadits ini. Adz-Dzahabi menyebutkannya dalam Siyar A’lam An-Nubala` (10/46): “Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu dari beberapa jalan periwayatan dari beliau: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mendatangkan bagi manusia di penghujung setiap seratus tahun seseorang yang mengajari mereka sunnah-sunnah dan meniadakan/ menolak kedustaan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam” Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata lagi: “Maka kami pun melihat orang yang demikian sifatnya, ternyata pada akhir seratus tahun orang itu adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu dan pada akhir seratus tahun berikutnya (seratus tahun kemudian setelah seratus tahun yang pertama -pent.) orang itu adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.” (Ash-Shahihah, 2/148-149)

Makna Hadits
Yang dimaksud dengan umat dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ

“Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla mengutus bagi umat ini…”
kata Al-Qari adalah ummat ijabah (umat Islam yang telah menerima dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), namun memungkinkan juga dimasukkannya ummat dakwah (mencakup non muslim yang didakwahi untuk masuk ke dalam Islam). Kata Al-Munawi rahimahullahu, yang dimaukan dalam hadits ini adalah ummat ijabah dengan dalil disandarkannya (di-idhafah-kan) kata ad-din (agama) kepada mereka dalam ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (agama umat ini). (Mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10)
Adapun maksud dari ucapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِئَةِ سَنَةٍ

“di penghujung setiap seratus tahun”, adalah akhir dari seratus tahun atau awalnya, ketika sedikit ilmu dan sunnah di tengah umat, sebaliknya kejahilan menyebar dan banyak kebid’ahan. Namun yang tepat, yang dimaukan dalam hadits ini adalah akhir dari seratus tahun, bukan awalnya. Dengan bukti dari Al-Imam Az-Zuhri dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal serta selain keduanya dari kalangan para imam yang terdahulu maupun yang belakangan rahimahumullah. Mereka sepakat bahwa mujaddid yang muncul pada akhir seratus tahun yang pe rtama1 adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu. Dan seratus tahun yang kedua2 adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Sementara ‘Umar bin Abdil ‘Aziz wafat pada tahun 101 H dalam usia 40 tahun dan masa kekhilafahan beliau 2,5 tahun. Sedang Al-Imam Asy-Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. (‘Aunul Ma’bud, kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah)
Al-’Allamah Al-Muhaddits Al-Munawi rahimahullahu berkata: “Dimungkinkan perhitungan seratus tahun itu dari kelahiran Nabi, bi’tsah (diutusnya beliau sebagai Nabi), hijrah beliau ke Madinah, atau wafat beliau. Bila ada yang mengatakan bahwa yang kedua lebih dekat/tepat maka pendapat itu tidak jauh dari kebenaran. Akan tetapi As-Subki dan lainnya secara jelas menyatakan bahwa yang dimaukan adalah yang ketiga (perhitungan sejak hijrah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah). (Mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10)
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

“Seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini”, yakni orang itu menerangkan tentang As-Sunnah sehingga jelas mana yang bid’ah. Ia menyebarkan ilmu, menolong ahlul ilmi, mematahkan dan merendahkan ahlul bid’ah. (‘Aunul Ma’bud, kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah)
Jumlah mujaddid yang Allah Subhanahu wa Ta'ala tampilkan dalam setiap kurun bisa jadi hanya satu, namun bisa pula berbilang. Mujaddid tersebut harus merupakan seorang alim yang mengetahui ilmu agama secara dzahir maupun batin. Demikian faidah yang diambil dari ucapan Al-Munawi. (Mukaddi-mah Faidhul Qadir, 1/10)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata: “Pemahaman yang menyatakan bahwa jumlah mujaddid di setiap kurun itu bisa berbilang, lebih dari satu, memiliki sisi kebenaran. Karena terkumpulnya sifat-sifat yang dibutuhkan untuk men-tajdid perkara agama ini tidak dapat dibatasi pada satu jenis kebaikan saja. Dan tidak mesti seluruh perangai kebaikan dapat terkumpul pada satu orang, kecuali bila orang itu semacam ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu, karena beliau bangkit menegakkan perkara agama ini pada akhir seratus tahun yang pertama dalam keadaan beliau mempunyai seluruh sifat-sifat kebaikan dan terdepan dalam sifat-sifat tersebut. Karena itu, Al-Imam Ahmad rahimahullahu memutlakkan bahwa ahlul ilmi membawa hadits tersebut atas ‘Umar bin Abdil ‘Aziz (yakni ‘Umar bin Abdil ‘Aziz merupakan mujaddid yang dimaksud hadits tersebut, -pen.). Adapun setelahnya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Walaupun Al-Imam Asy-Syafi’i memiliki sifat-sifat yang bagus, namun beliau bukan orang yang menegakkan perkara jihad, dan bukan orang yang memegang kekuasaan yang dapat memerintah/menghukumi dengan adil.3 Berdasarkan hal ini, maka setiap alim yang memiliki salah satu sifat-sifat yang demikian di penghujung seratus tahun, maka dialah mujaddid yang diinginkan, baik jumlahnya berbilang atau hanya satu.” (Fathul Bari, 13/361)
Makna tajdid sendiri adalah menghidupkan apa yang telah terkubur ataupun runtuh berupa pengamalan terhadap Al-Qur`an dan As-Sunnah. Ataupun menghidupkan hukum-hukum syariat yang telah runtuh dan bendera-bendera As-Sunnah yang telah hilang dan ilmu-ilmu agama yang dzahir maupun batin yang telah tersembunyi.4
Seorang mujaddid bukanlah seorang pengacau agama. Makna inilah yang dipahami kebanyakan orang, bahwa mujaddid adalah seseorang yang mengajarkan jalan baru dalam agama, yang sebenarnya lebih pantas dikatakan pengacau agama. Seperti kesalahpahaman orang Indonesia yang menyatakan Nurcholish Madjid sebagai mujaddid, ataupun Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani yang dianggap sebagai mujaddid. Bukan pula mujaddid adalah seorang politikus, sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mujaddid adalah seorang politikus ulung, seperti yang dikatakan orang terhadap Abul A’la Al-Maududi ataupun Dr. Taqiyuddin An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir. Demikian pula, mujaddid bukanlah seorang pemberontak yang memberontak terhadap pemerintah dan negara, seperti yang dikatakan orang terhadap Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, atau Sa’id Hawa. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa seorang mujaddid tidaklah membawa agama baru, pemikiran baru atau jalan baru. Tetapi ia mengajak manusia untuk kembali kepada agama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang murni setelah mereka melupakan agama Nabi mereka dan tenggelam dalam kebodohan, kebid’ahan, dan kesesatan.

Penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap Agama ini, di antaranya dengan Menampilkan para Mujaddid
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah lama wafat, namun agama beliau tetap terjaga sampai hari ini dan sampai nanti ketika datang hari kiamat. Al-Qur`an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada beliau tetap murni sebagaimana saat diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kali yang pertama. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan pemeliharaannya sebagaimana firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikra dan Kami juga yang akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Tidaklah dipalingkan satu makna dari makna-makna Al-Qur`an kecuali Allah akan mendatangkan orang yang akan menerangkan al-haq yang nyata pada Al-Qur`an tersebut.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 429)
Tidak hanya Al-Qur`an yang terjaga kemurniannya, namun juga Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang merupakan tafsir atau penjelasan dari Al-Qur`anul Karim. Para ulamalah yang dipilih Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk meneruskan dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seluruh alam, karena mereka adalah pewaris ilmu para Nabi. Dengan keberadaan mereka, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga agama-Nya.
Demikianlah setelah diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membiarkan umat ini terus tenggelam dalam kebodohan, lupa akan petunjuk dan bimbingan agamanya. Di tengah umat ini selalu ada orang-orang yang Allah munculkan untuk mengadakan perbaikan ketika manusia membuat kerusakan. Di tengah mereka mesti ada Ath-Tha`ifah Al-Manshurah Al-Firqatun Najiyah. Dan di setiap penghujung seratus tahun atau satu abad dari perjalanan waktu, di tengah mereka mesti akan tampil seorang atau lebih ulama mujaddid yang akan mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran agama Islam yang murni seperti yang dibawa Nabi umat ini Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana kemunculannya dipastikan dalam hadits yang telah kita bawakan di atas.

Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu Sosok Pembaharu
Salah seorang sosok mujaddid yang Allah Subhanahu wa Ta'ala munculkan di abad ke-12 Hijriyyah atau bertepatan dengan abad ke-19 Masehi adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin ‘Ali At-Tamimi Al-Hanbali rahimahullahu yang bertempat di negeri Najd, Saudi Arabia. Beliau lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H. Banyak karya tulis yang berbicara tentang beliau yang disifati sebagai seorang peng-ishlah (orang yang mengadakan perbaikan) yang agung, seorang mujaddid Islam, seorang yang berada di atas petunjuk dan cahaya dari Rabbnya dan banyak lagi kebaikan-kebaikannya yang sulit untuk dihitung. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah Asy-Syaikh Ibnu Baz, dalam pembahasan tentang Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Da’watuhu wa Siratuhu, 1/355)
Syaikh Mujaddid ini disifati demikian tidak lain karena beliau seorang alim salafi dari sisi aqidah dan manhaj, hingga pantas disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan dan disebut dengan sebutan yang merupakan perangai kebaikan dan amal kebajikan. (Qathul Janiyil Mustathab Syarhu ‘Aqidah Al-Mujaddid Muhammad bin Abdil Wahhab, hal. 7, karya Asy-Syaikh Al-Allamah Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali). Barakah dakwah beliau terus dirasakan oleh umat Islam sampai hari ini walaupun beliau telah wafat 221 tahun yang lalu (dua abad lebih). Tidak sebatas di negerinya, tetapi juga sampai ke seluruh negeri yang ada di berbagai belahan bumi ini, termasuk pula negeri kita Indonesia. Kitab-kitab karya beliau tersebar ke segala penjuru negeri, dibaca, dipelajari dan dijadikan rujukan oleh para penuntut ilmu, seperti kitab Al-Ushuluts Tsalatsah, Kasyfusy Syubuhat, Kitabut Tauhid, Masa`ilul Jahiliyyah dan masih banyak lagi.
Para ulama setelah beliau banyak yang mensyarah karya-karya beliau menjadi satu atau beberapa kitab yang tebal. Satu hasil nyata dari dakwah beliau adalah berdirinya kerajaan tauhid Saudi Arabia dan tetap tegak sampai hari ini sebagai satu-satunya negara yang mengibarkan bendera tauhid dan menyatakan perang terhadap kesyirikan. Walillahil hamdu (Segala pujian yang sempurna hanyalah milik Allah).
Pada awal dakwahnya, Syaikh yang mulia ini melihat kebodohan tersebar di seluruh negerinya. Beliau melihat manusia berbolak-balik menuju ke pelepah kurma dan kuburan untuk memohon kepada penghuni kubur dan benda-benda mati dengan permintaan yang semestinya tidak diminta kecuali kepada Pencipta langit dan bumi. Beliau melihat manusia meminta ampunan dan kesembuhan kepada penghuni kubur, sebagaimana mereka juga dikuasai oleh ketakutan yang sangat terhadap para setan di mana hal itu membawa mereka untuk berlindung kepada setan.
Saat berkeliling negeri untuk menuntut ilmu, beliau juga melihat umat Islam hidup dalam kejahiliyahan yang sama dengan umat di negerinya. Di samping itu, beliau melihat Kitabullah tidak lagi menjadi rujukan dalam pengambilan hukum, namun justru manusia berhukum dengan selain hukum Allah. Inilah fenomena yang mendorong Syaikh untuk mengadakan perbaikan aqidah dan hukum sehingga hukum hanya milik Allah dan ibadah hanya ditujukan pada-Nya, demikian pula mutaba’ah (mengikuti) hanyalah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau menyerang kejahiliyahan dan berseru dengan lantang kepada manusia bahwa mereka tidak di atas agama Islam sedikitpun.
Beliau pun mengajak mereka untuk kembali kepada Islam yang hakiki, beribadah kepada Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan agar ketaatan hanya ditujukan kepada Rasul-Nya. Beliau mengajak mereka agar beribadah kepada Allah dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa mengadakan-adakan perkara baru dalam agama, dan agar hukum yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul dijadikan sebagai pokok, bukan sekedar pembungkus dalam pendapat-pendapat, undangundang atau adat. Beliau membawa mushaf (lembaran Al-Qur`an) guna mengajak manusia agar kembali kepadanya, merasa cukup dengannya dan dengan As-Sunnah sebagai penjelas dan perinci apa yang global dalam Al-Qur`an.
Berawal dari sini, bangkitlah orang-orang yang mendukung kehidupan jahiliyyah. Mereka pun bereaksi dan berteriak bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab datang membawa agama baru dan menganut madzhab yang kelima. Namun Syaikh tetap berlalu dengan dakwah beliau tanpa mengindahkan apa yang mereka ucapkan dan sebarkan. (Masyakilud Da’wah wad Du’ah fil ‘Ashril Hadits, sub judul Da’watu Muhammad bin Abdil Wahhab wa Shumuduha lil Musykil, hal. 45-46, karya Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami)
Banyak sumbangsih yang diberikan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu kepada kaum muslimin yang semestinya disyukuri. Namun ada saja orang yang hasad kepada beliau atau orang yang dakwahnya berseberangan dengan dakwah yang beliau tegakkan. Mereka menyimpan kebencian kepada beliau bahkan menyebarkan ucapan-ucapan jelek dan tuduhan palsu tentang beliau dan dakwahnya. Sehingga tidak sedikit orang awam yang termakan ucapan mereka. Akibatnya beliau dibenci dan dicaci oleh mereka, dan dakwah seperti yang beliau ajarkan dijauhi.
Ditempelkanlah gelar Wahabi kepada pengikut dakwah beliau, seakan beliau dan pengikut dakwah beliau berjalan di atas selain jalan yang haq dan membentuk madzhab yang kelima dalam Islam. Padahal dakwah beliau adalah dakwah kepada tauhid yang murni, memperingatkan dari kesyirikan dengan seluruh jenisnya, seperti bergantung kepada orang-orang mati dan yang lainnya, baik berupa pepohonan, bebatuan dan semisalnya.
Dalam masalah aqidah, beliau rahimahullahu berada di atas madzhab As-Salafus Shalih, dalam fiqih beliau berpegang dengan madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu sebagaimana ditunjukkan dalam kitab-kitab karya beliau, fatwa-fatwa beliau dan kitab-kitab karya pengikut beliau dari kalangan anak dan cucu-cucunya serta selain mereka.
Dengan demikian Wahabiyyah bukanlah madzhab kelima seperti anggapan orang-orang bodoh dan orang-orang yang benci. Dia hanyalah dakwah kepada aqidah salafiyyah dan memperbaharui apa yang telah roboh dari bendera-bendera Islam dan tauhid di jazirah Arab. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Asy-Syaikh Ibnu Baz, 1/374)

Aqidah dan Keyakinan Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu
Tuduhan orang-orang yang benci ataupun orang-orang bodoh bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullahu membawa agama baru dan menyimpang dari ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak terbukti. Bahkan bukti yang ada menunjukkan bahwa beliau di atas al-haq, dan dakwah yang beliau sampaikan adalah dakwah yang haq, mencocoki ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut ini kita bawakan aqidah yang beliau yakini, guna menepis tuduhan dan membuang keraguan dari orang-orang yang ragu.
Ketika penduduk Qashim menanyakan tentang aqidah beliau, beliau menyatakan bahwa aqidah yang beliau yakini adalah aqidah Al-Firqatun Najiyah, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan hal ini beliau amalkan dan jalankan selama hidup beliau. Aqidah tersebut berupa:
1. Iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah mati dan iman terhadap takdir yang baik maupun yang buruk.
2. Termasuk iman kepada Allah adalah mengimani sifat-Nya yang yang disebutkan-Nya dalam kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa tahrif (mengubah) dan tanpa ta’thil (menolak), tanpa takyif (menanyakan hakikat) dan tamtsil (menyamakan dengan makhluk).
3. Al-Qur`an adalah Kalamullah, yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan makhluk. Al-Qur`an berasal dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan akan kembali kepada-Nya.
4. Mengimani seluruh yang dikabarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa hal-hal yang terjadi setelah kematian, fitnah dan nikmat kubur, dikembalikannya ruh kepada jasad pada hari kiamat, adanya mizan, dibagikannya catatan amal para hamba, adanya telaga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang airnya lebih putih dari susu, rasanya lebih manis daripada madu dan bejananya sejumlah bintang-bintang di langit, siapa yang meminumnya ia tidak akan haus selama-lamanya. Termasuk pula mengimani adanya shirath (jalan/jembatan) yang dibentangkan di atas dua tepi Jahannam yang akan dilewati manusia sesuai kadar amal mereka. Mengimani adanya syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adanya surga dan neraka yang telah diciptakan dan sekarang telah ada. Dan mengimani bahwa kaum mukminin akan melihat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mata kepala mereka pada hari kiamat.
5. Mengimani bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan rasul.
6. Meyakini bahwa shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling afdhal adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, dan ‘Utsman yang berikutnya, kemudian ‘Ali. Setelahnya adalah enam shahabat yang tersisa dari 10 shahabat yang dijanjikan masuk surga (Al-’Asyrah Al-Mubasysyaruna bil jannah),5 lalu para shahabat yang mengikuti perang Badar, berikutnya para shahabat yang berbai’at di bawah pohon (Bai’atur Ridhwan).
7. Beliau berloyalitas kepada para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebut mereka dengan kebaikan, ridha kepada mereka, memohonkan ampunan untuk mereka, menahan diri dari menyebut kesalahan mereka, dan diam dari perselisihan yang pernah terjadi di antara mereka.
8. Sebagaimana beliau pun ridha kepada Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi) radhiyallahu ‘anhunna.
9. Menetapkan adanya karamah wali-wali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
10. Tidak mempersaksikan seseorang dari kaum muslimin dengan pernyataan ‘Fulan penduduk surga’ atau ‘Fulan ahlun nar (penduduk neraka)’, kecuali yang telah dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penduduk surga atau penduduk neraka.
11. Tidak mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin karena dosa yang diperbuat dan tidak pula mengeluarkannya dari lingkaran Islam.
12. Beliau memandang jihad tetap berlangsung bersama setiap imam/pemimpin yang baik ataupun yang fajir/jahat.
13. Bolehnya shalat berjamaah di belakang pemimpin yang jahat.
14. Wajib mendengar dan taat kepada pemimpin kaum muslimin yang baik ataupun yang fajir, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
15. Siapa yang memegang khilafah, manusia berkumpul dan ridha padanya, atau ia menguasai mereka dengan pedang hingga menjadi khalifah, maka ia wajib ditaati dan haram memberontak padanya.
16. Beliau berpandangan harusnya memboikot ahlul bid’ah dan memisahkan diri dari mereka sampai mau bertaubat. Kita menghukumi mereka secara dzahir, adapun batin mereka diserahkan urusannya kepada Allah.
17. Meyakini bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam agama ini merupakan bid’ah.
18. Iman adalah ucapan dengan lisan, amalan dengan anggota badan dan pembenaran dengan hati, bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.
19. Beliau memandang wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar sesuai bimbingan syariat. [Lihat Qathul Janiyil Mustathab Syarhu ‘Aqidah Al-Mujaddid Muhammad bin Abdil Wahhab]
Demikianlah aqidah yang dianut oleh Syaikh Mujaddid tersebut, yang secara jelas menggambarkan beliau adalah seorang sunni salafi, yang berjalan di atas jalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para shahabat, tabi’in, atba’ut tabi’in, yakni jalan As-Salafush Shalih. Semestinya tidak ada lagi keraguan akan kebenaran dakwah beliau setelah adanya penjelasan ini. Dan silahkan gigit jari orang-orang yang benci dan hasad kepada beliau dan kepada dakwah tauhid yang haq ini.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Abad pertama Hijriyyah
2 Abad kedua Hijriyyah
3 Sebagaimana semua itu ada pada diri Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu
4 ‘Aunul Ma`bud, pada kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah dan mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10.
3 Sebagaimana semua itu ada pada diri Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu
4 ‘Aunul Ma`bud, pada kitab Al-Malahim, bab Ma Yudzkaru fi Qarnil Mi`ah dan mukaddimah Faidhul Qadir, 1/10.
 

Sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=339

Adam Turun di India

Dalam kisah-kisah para naib dan rasul, disebutkan kisah masyhur bahwa Adam turun di negeri India, berdasarkan hadits yang lemah berikut ini,


نَزَلَ آدَمُ بِالْهِنْدِ وَاسْتَوْحَشَ فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ فَنَادَى بِالْأَذَانِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مَرَّتَيْنِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ مَرَّتَيْنِ قَالَ آدَمُ مَنْ مُحَمَّدٌ قَالَ آخِرُ وَلَدِكَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ


"Nabi Adam turun di India, dan beliau merasa asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan adzan, "Allahu Akbar, Asyhadu Alla Ilaha illallah (dua kali), asyhadu anna Muhammdan rasulullah (dua kali). Adam bertanya, "Siapakah Muhammad itu?" Jibril menjawab, "Cucumu yang paling terakhir dari kalangan nabi".". [HR.Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (2/323/2)]


Hadits ini dho’if (lemah), atau palsu, karena ada seorang rawi dalam sanadnya yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Sulaiman. Orang yang bernama seperti ini ada dua; yang pertama dipanggil Al-Kufiy, orangnya majhul (tidak dikenal), sedang orang yang seperti ini haditsnya lemah. Yang satunya lagi, dikenal dengan Al-Khurasaniy. Orang ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat dalam sanad ini, maka hadits ini palsu. Hadits ini di-dho’if-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dho’ifah (403).


Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 31 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber : http://almakassari.com/?p=210

Tanda Bahagia Cukur Jenggot

Memelihara jenggot merupakan perkara yang diwajibkan atas setiap muslim yang jantan lagi sejati berdasarkan hadits-hadits shahih sebagaimana akan kami bahas dalam buletin ini. Adapun laki-laki muslim yang mengikuti syahwatnya, maka ia akan berusaha mencari-cari dalih yang membolehkan cukur jenggot padahal itu haram. Seperti ia berdalil dengan hadits berikut :


ِمنْ سَعَادَةِ الْمَرْءِ خِفَّةُ لِحْيَتِهِ

"Diantara kebahagiaan seseorang, kurangnya jenggotnya" [HR. Ibnu Hibban dalam Adh-Dhu’afaa‘ (1/360), Ath-Thabraniy dalam Al-Kabir (12920), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/364), dan Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad (14/297)]

Hadits ini tidak bisa memenuhi ambisi mereka dalam memotong dan memangkas jenggot, karena hadits ini palsu. Kepalsuannya disebabkan oleh dua orang rawi : Yusuf bin Al-Ghariq, dan Sukain bin Abi Siroj. Kedua orang ini adalah pendusta. Karenanya, Al-Albaniy memasukkan hadits ini dalam golongan hadits palsu dalam Adh-Dhoi’fah (193).

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 37 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
 
Sumber : http://almakassari.com/?p=215

Derajat Hadits tentang terlaknatnya dunia dan isinya kecuali dzikrullah

Shohihkah hadits yang berbunyi :

الدُّنْيَا مَلْعُوْنَةٌ وَمَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا إِلاَّ ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِماً أَوْ مُتَعَلِّماً

"Dunia itu terlaknat dan terlaknat pula apa yang ada di dalamnya kecuali dzikrullah (dzikir kepada Allah) dan apa-apa yang serupa dengannya, atau seorang ‘alim (orang yang berilmu) atau seorang muta’allim (penuntut ilmu)".



Hadits dengan lafadz yang disebutkan ada dalam dua hadits, dalam hadits Abu Hurairah dan hadits Abu Darda`

Hadits Abu Hurairah

Dikeluarkan oleh Tirmidzy no.2322, Ibnu Majah no.4112, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Az-Zuhd no.126, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman 2/265 no.1708, Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` 2/326, Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi no.134 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal semuanya dari jalan ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban dari ‘Atho` bin Qurrah dari ‘Abdullah bin Dhamrah dari Abu Hurairah beliau berkata Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda seperti hadits yang disebutkan oleh saudara yang bertanya.

Dalam hadits ini terdapat beberapa kelemahan :

Satu : Terdapat seorang rawi dalam sanadnya yaitu ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban. Para Imam Ahlul Jarh Wat-Ta’dil berbeda pendapat tentang rawi ini dan Al-Hafizh Ibnu Hajar telah memberikan kesimpulan yang baik, beliau berkata dalam Taqribut Tahdzib : Maqbul.

Arti maqbul menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar adalah diterima apabila ada pendukungnya, kalau tidak maka ia adalah layyinul hadits (lembek haditsnya).

Dua : ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban ini telah mudhthorib (goncang) dalam meriwayatkan hadits ini. Bentuk kegoncangannya yaitu kadang-kadang ia meriwayatkan hadits ini dari ‘Atho` bin Qurrah dari ‘Abdullah bin Dhamrah dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam (yaitu secara marfu) sebagaimana dalam riwayat di atas, dan kadang-kadang ia meriwayatkan hadits ini dari ayahnya dari ‘Abdullah bin Dhamrah dari Ka’ab secara mauquf sebagaimana dalam riwayat Ad-Darimy no.322 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no.35332.

Ada jalan lain juga dalam riwayat ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban yaitu dari Abdah bin Abu Lubabah dari Abu Wail dari ‘Abdullah bin Mas’ud dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Riwayat ini dikeluarkan Al-Bazzar dalam Musnadnya 5/145 no.1736 dan Ath-Thabarany dalam Al-Ausath 4/236 no.4072 dan dalam Musnad Asy-Syamiyyin no.163.

Tapi riwayat ini adalah riwayat yang salah sebagaimana yang dikatakan oleh Ad-Daruquthny dalam ‘Ilalnya 5/89 dan kesalahan itu berasal dari Mughirah bin Mutharrif.

Tiga : ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban ini telah diselisihi oleh Wuhaib bin Al-Ward (salah seorang rawi yang tsiqoh) ia meriwayatkan dari ‘Atho` bin Qurrah dari ‘Abdullah bin Dhamrah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam (yaitu secara mursal). Lihat riwayatnya dalam Syarah As-Sunnah karya Imam Al-Baghawy 14/229-230.

Tiga hal ini sangat kuat menunjukkan lemahnya riwayat ‘Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban. Wallahu A’lam.

Catatan :

Ada riwayat lain dari hadits Abu Hurairah bisa dilihat dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah no.1330 yang disertai dengan penjelasan tentang kelemahannya.

Hadits Abu Darda`

Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd no.543, Ya’qub Al-Fasawy dalam Al-Ma’rifah 3/398, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Az-Zuhd hal.136-137, Al-Baihaqy dalam Al-Madkhal no.383 dan Syu’abul Iman 7/342 no.10513 dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi no.134 semuanya dari jalan Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abu Darda` ia berkata :

الدُّنْيَا مَلْعُوْنَة مَلْعُوْنٌ مَا فِيْهَا إِلاَّ ذِكْرُ الله وَمَا آوَى إِلَيْهِ وَالعَالِمُ وَالمُتَعَلِّمُ فِي الخَيْرِ شَرِيْكاَنِ وَسَائِرُ النَّاسِ هَمَجٌ لاَ خَيْرَ فِيْهِمْ

"Dunia itu terlaknat, terlaknat pula apa yang ada padanya kecuali dzikrullah (dzikir kepada Allah) dan apa-apa yang kembali kepadanya, dan seorang yang mengajar dan yang belajar keduanya berserikat dalam kebaikan, dan seluruh manusia adalah orang yang hina dina tidak ada kebaikan pada mereka".

Hadits ini adalah hadits mauquf sebagaimana yang kita lihat. Dan terdapat kelemahan di dalamnya yaitu bahwa Khalid bin Ma’dan tidak mendengar dari Abu Darda` sebagaimana dalam Jami’ At-Tahshil.

Dan telah diriwayatkan secara marfu sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawaid 1/122, kemudian beliau berkata : "Dalam sanadnya ada Mu’awiyah bin Yahya Ash-Shodafy, berkata Ibnu Ma’in : "Halikun Laisa bi Syai`in (Dia itu celaka tidak dianggap sama sekali)".

Hadits ini mempunyai jalan-jalan lain yang semuanya disebutkan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullahu dalam Irwa` Al-Ghalil no.414 dan beliau melemahkan seluruh jalan-jalannya baik secara mauquf maupun secara marfu.

Kesimpulan :

Bisa disimpulkan bahwa hadits ini adalah lemah dari seluruh jalannya.


Sumber : http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Hadits&article=7

Padamkan Neraka dengan Sholat

Jika kita mau mengoleksi hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan sholat, maka terlalu banyak. Namun disini kami mau ingatkan bahwa ada hadits lemah dalam hal ini, yaitu hadits yang berbunyi:

إِنَّ لِلّهِ تَعَالَى مَلَكًا يُنَادِيْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ : يَا بَنِيْ آدَمَ قُوْمُوْا إِلَى نِيْرَانِكُمْ الَّتِيْ أَوْقَدْتُمُوْهَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَأَطْفِئُوْهَا بِالصَّلاَةِ

"Sesungguhnya Allah -Ta’ala- memiliki seorang malaikat yang memanggil setiap kali sholat, "Wahai anak Adam, bangkitlah menuju api (neraka) kalian yang telah kalian nyalakan bagi diri kalian, maka padamkanlah api itu dengan sholat". [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (9452) dan Ash-Shoghir (1135), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/42-43), dan lainnya]

Hadits ini lemah , karena ada seorang rawi bernama Yahya bin Zuhair Al-Qurosyiy. Dia adalah seorang majhul (tak dikenal). Olehnya, Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (3057)

Sumber : Rubrik Hadits Lemah Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 68 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber : http://almakassari.com/?p=326

Derajat hadits Sholat Tasbih

PERTANYAAN

Sering terdengar, bahkan pernah terlihat, bahwa ada kaum muslimin yang melakukan shalat tasbih pada malam-malam tertentu, khususnya malam Jum’at. Apakah hal ini ada dasarnya dari Al-Qur`ân dan sunnah?

JAWABAN

Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang shalat tasbih:

Hadits Pertama

Hadits Ibnu ‘Abbâs,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهْ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أُمْنِحُكَ أَلاَ أُحِبُّوْكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطْأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ عَشَرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وِسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقُرْاءَةِ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشَرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تّهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِيْ أَرْبَعِ رَكْعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لََمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِيْ كُلِّ سَنَةِ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ عُمْرِكَ مَرَّةً

“Dari Ibnu ‘Abbâs, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib, ‘Wahai ‘Abbas, wahai pamanku, maukah saya berikan padamu? maukah saya anugerahkan padamu? maukah saya berikan padamu? saya akan tunjukkan suatu perbuatan yang mengandung 10 keutamaan, yang jika kamu melakukannya maka diampuni dosamu, yaitu dari awalnya hingga akhirnya, yang lama maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang nampak. Semuanya 10 macam. Kamu shalat 4 rakaat. Setiap rakaat kamu membaca Al-Fatihah dan satu surah. Jika telah selesai, maka bacalah Subhanallâhi wal hamdulillâhi wa lâ ilâha illallâh wallahu akbar sebelum ruku’ sebanyak 15 kali, kemudian kamu ruku’ lalu bacalah kalimat itu di dalamnya sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari ruku’ baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud lagi dan baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud sebelum berdiri baca lagi sebanyak 10 kali, maka semuanya sebanyak 75 kali setiap rakaat. Lakukan yang demikian itu dalam empat rakaat. Lakukanlah setiap hari, kalau tidak mampu lakukan setiap pekan, kalau tidak mampu setiap bulan, kalau tidak mampu setiap tahun dan jika tidak mampu maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu.’.”

Hadits ini mempunyai empat jalan:

Pertama , dari jalan Al-Hakam bin Abân, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbâs, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-‘Abbâs bin ‘Abdil Muththalib …, kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Dikeluarkan oleh Abu Dâud 2/29 no. 1297, Ibnu Mâjah 2/158-159 no. 1387, Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahîh -nya 2/223-224 no. 1216, Al-Hâkim 1/627-628 no. 1233-1234, Al-Baihaqy 3/51-52, Ath-Thabarâny 11/194-195 no. 11622, Ad-Dâraquthny sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/37, Ibnu Al-Jauzy dalam Al-Maudhuât 2/143-144, Al-Hasan bin ‘Ali Al-Ma’mari dalam kitab Al-Yaum Wal Laila , Al-Khalily dalam Al-Irsyâd 1/325 no. 58, dan Ibnu Syâhîn dalam At-Targhib Wa At-Tarhib sebagaimana dalam kitab Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/39.

Seluruhnya dari jalan ‘Abdurrahman bin Bisyr bin Al-Hakam Al-‘Abdi, dari Abi Syu’aib Musa bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Qinbâry, dari Al-Hakam bin Abân …, dan seterusnya.

Berkata Az-Zarkasyi dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/44, “Telah meriwayatkan dari Musa bin ‘Abdil ‘Aziz, Bisyr bin Al-Hakam serta anaknya, Abdurrahman, Ishâq bin Abi Isrâil, Zaid bin Mubârak Ash-Shan’âny dan selain mereka.” (dinukil dengan sedikit perubahan).

Saya berkata, “Riwayat Ishâq bin Abi Isrâil dikeluarkan oleh Al-Hâkim 1/628 no. 1234 dan Ibnu Syâhîn dalam At-Targhib Wa At-Tarhib sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/39.”

Komentar Para Ulama Tentang Musa Bin ‘Abdil ‘Aziz

Berkata Ibnu Ma’in tentangnya, “Lâ Arâ bihi ba’san (dalam pandangan saya dia tidak apa-apa).” Berkata An-Nasâ`i, “Lâ ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).” Ibnu Hibbân menyebutkan dalam Ats-Tsiqât dan dia berkata, “Rubbamâ akhtha’ (kadang-kadang bersalah).” Berkata Ibnu Al-Madiny, “Dha’if (lemah).” Berkata As-Sulaimâny, “Mungkarul hadits (mungkar haditsnya).” Lihat At-Tahdzib Wat Tahdzib .

Imam Muslim bin Al-Hajjâj berkata, “Saya tidak melihat sanad hadits yang lebih baik dari hadits ini.” Diriwayatkan oleh Al-Khalily dalam Al-Irsyâd 1/327, Al Baihaqy, dan selain keduanya.

Yang nampak dari komentar para ulama di atas bahwasanya hadits beliau itu tidaklah turun dari derajat hasan. Karena itulah, kedudukan hadits ini adalah hasan. Wallâhu A’lam.

Catatan Penting

Terdapat riwayat dari jalan Muhammad bin Râfi’, dari Ibrâhim bin Al-Hakam bin Abân, bahwa dia berkata, “Menceritakan kepada saya ayahku, dari ‘Ikrimah, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda …,” kemudian dia menyebutkan haditsnya secara mursal (seorang tabiin meriwayatkan langsung dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tetapi ia tidak mendengar dari beliau).

Riwayat ini dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh -nya 2/224, Al-Hâkim 1/628, Al-Baihaqy 3/53 dan dalam Syu’abul Îmân 125 no. 3080, serta Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 4/156-157 no. 1018.

Saya berkata, “Riwayat ini tidaklah membahayakan riwayat Musa bin ‘Abdil ‘Aziz karena komentar para ulama terhadap Ibrahim bin Hakam sangat keras, dan yang nampak bagi yang memperhatikan komentar para ulama tersebut bahwasanya dia adalah dha’if, tidak dipakai sebagai pendukung. Terlebih lagi telah terdapat riwayat-riwayat yang mungkar dalam riwayat bapaknya dari jalannya (Ibrâhim bin Al-Hakam).”

Berangkat dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa penyelisihan yang dilakukan oleh Ibrâhim bin Al-Hakam yang meriwayatkan secara mursal kemudian menyelisihi riwayat Musa bin ‘Abdil ‘Aziz yang meriwayatkan secara maushul (bersambung) tidaklah berpengaruh. Bersamaan dengan itu, Ibrâhim bin Al-Hakam telah guncang dalam riwayatnya, karena kadang-kadang dia meriwayatkan secara mursal, sebagaimana dalam riwayat Muhammad bin Râfi’ ini, dan kadang-kadang dia meriwayatkannya secara maushul, sebagaimana dalam riwayat Ishâq bin Râhaway yang dikeluarkan oleh Hâkim 1/628 no. 1235 dan Baihaqy dalam Syu’abul Îmân 125-126 no. 3080.

Dari sini diketahui pula bahwasanya tidak perlu bagi Imam Al-Baihaqy, dalam Syu’abul Îmân 3/126, untuk berkata, “Yang benar adalah riwayat secara mursal,” karena perselisihan riwayat yang berasal dari Ibrâhim bin Al-Hakam ini menunjukkan keguncangan dalam riwayatnya, sehingga semakin jelas menunjukkan lemahnya orang ini. Demikian kaidah para ulama menanggapi rawi yang seperti ini, sebagaimana yang tersebut dalam Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy oleh Ibnu Rajab dan yang lainnya. Wallâhu A’lam.

Kedua , dari jalan ‘Abdul Quddûs bin Habîb, dari Mujâhid, dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya …, kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 3/14-15 no. 2318 dan Abu Nuaim dalam Al-Hilyah 1/25-26.

Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar, “Abdul Quddûs sangat lemah dan dinyatakan berdusta oleh sebagian imam.” Baca Al-Futûhât Ar-Rabbâniyah 4/311 dan Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/40. Lihat pula Mizânul I’tidâl .

Ketiga , dari jalan Nâfi’ bin Hurmuz Abu Hurmuz, dari Atha’, dari Ibnu ‘Abbâs. Dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny 11/130 no. 11365.

Berkata Al-Hâfidz sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 1/39-40, “Rawi-rawinya terpercaya kecuali Abu Hurmuz. Dia matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya).” Lihat Mizânul I’tidâl .

Keempat , dari jalan Yahya bin ‘Uqbah bin Abi Al-‘Aizâr, dari Muhammad bin Jahâdah, dari Abi Al-Jauzâ`i, dari Ibnu ‘Abbâs.

Dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 3/187 no. 2879.

Berkata Al-Hâfidz, “Semua rawinya terpercaya kecuali Yahya bin ‘Uqbah. Dia matrûk (haditsnya ditinggalkan).”

Saya berkata, “Bahkan Ibnu Ma’in berkata (tentang Yahya bin ‘Uqbah), ‘Kadzdzâbun Khabîts (pendusta yang sangat hina).’.” Lihat Mizânul I’tidâl .

Hadits Kedua

Hadits Abu Râfi’, maula Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjah 2/157-159 no. 1386, Tirmidzy 2/350-351 no. 482, Abu Bakar bin Abi Syaibah sebagaimana dalam Ajwibah Al-Hâfidz Ibnu Hajar ‘Alâ Ahâdits Al Mashâbîh 3/1781 dari Misykatul Mashâbih , Ad-Dâraquthny dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/38, Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhu’ât 2/144, dan Abu Nu’aim dalam Qurbân Al-Muttaqîn sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41.

Seluruhnya dari jalan Zaid bin Al-Hibbân Al-‘Uqly, dari Musa bin ‘Abîdah, dari Sa’id bin Abi Sa’id maula Abu Bakr bin ‘Amr bin Hazm, dari Abu Râfi’, bahwa dia berkata, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-‘Abbâs …,” kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Saya berkata, “Dalam sanadnya ada dua cacat:

    * Musa bin ‘Abîdah yaitu Ar-Rabâdzy Al-Madany. Yang nampak bagi saya, setelah membaca komentar para ulama tentangnya, bahwa ia adalah rawi yang dha’if yang bisa dipakai sebagai pendukung apalagi dalam hadits-hadits Ar-Riqâq.
    * Sa’id bin Abi Sa’id majhûlul hâl (tidak diketahui keadaannya).”

Maka hadits ini adalah syahid (pendukung) yang sangat kuat.

Hadits Ketiga

Hadits Al Anshâry.

Dikeluarkan oleh Abu Dâud 2/48 no. 1299 dan Al Baihaqy 2/52 dari Abu Taubah Ar-Rabî’ bin Nâfi’, dari Muhammad bin Muhâjir, dari Urwah bin Ruwaim, bahwa dia berkata, “Menceritakan kepada saya Al-Anshâry, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ja’far …,” kemudian dia menyebutkan hadits tersebut.

Saya berkata, “ Para ulama berbeda pendapat tentang siapa Al-Anshâry ini, tetapi menurut penilaian saya, tidak ada dalil yang benar yang menjelaskan siapa Al-Anshâry ini. Mungkin ia seorang shahabat dan mungkin juga bukan.” Wallâhu A’lam.

Hadits Keempat

Hadits Al-‘Abbâs bin ‘Abdul Muththalib.

Dikeluarkan oleh Ibnu Al-Jauzy dalam Al-Maudhu’at 2/143, dan Abu Nua’im, Ibnu Syahin dan Dâraquthny dalam Al-Afrâd sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/40.

Seluruhnya dari jalan Musa bin A’yan, dari Abu Raja’, dari Shadaqah, dari ‘Urwah bin Ruwaim, dari Ibnu Ad-Dailamy, dari Al-‘Abbâs, bahwa dia berkata, “Bersabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam …,” kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Al-Hâfidz tentang Shadaqah, “Dia adalah Ibnu ‘Abdillah yang dikenal dengan panggilan As-Samin. Dia lemah dari sisi hafalannya, akan tetapi dikatakan tsiqah (terpercaya) oleh banyak ulama, maka haditsnya bisa digunakan sebagai pendukung.”

Maka dari sini diketahui salahnya sangkaan Ibnul Jauzy yang mengatakan bahwa dia adalah Al-Khurâsâny.

Adapun Abu Raja’, dia adalah ‘Abdullah bin Muhriz Al-Jazary, dan kami tidak menemukan biografinya. Wallâhu A’lam.

Kemudian Ibnu Ad-Dailamy, dia adalah ‘Abdullah bin Fairuz, tsiqah (terpercaya), termasuk dari tabiin besar, bahkan sebagian ulama menggolongkannya sebagai shahabat.

Hadits ini mempunyai jalan lain, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Ibrâhim bin Ahmad Al-Hirqy dalam Fawâ’id -nya. Akan tetapi, dalam sanad jalan tersebut ada Hammâd bin ‘Amr An-Nashîby yang para ulama menganggap dia sebagai kadzdzâb (pendusta). Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/40.

Hadits Kelima

Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Âsh.

Dikeluarkan oleh Abu Dâud 2/48 no. 1298 dan Al-Baihaqy 3/52, dari jalan Mahdy bin Maimûn, dari ‘Amr bin Malik, dari Abu Al-Jauzâ`i, bahwa dia berkata, “Seorang laki-laki yang dia adalah shahabat, menurut mereka dia adalah ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, ‘Bersabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam …,’,” kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Abu Dâud, “Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Mustamir bin Rayyân dari Abu Al-Jauzâ`i, dari ‘Abdullah bin ‘Amr secara mauqûf (dari perkataan shahabat). Diriwayatkan pula oleh Rauh bin Al-Musayyab dan Ja’far bin Sulaimân dari ‘Amr bin Malik An-Nukri, dari Abu Al-Jauzâ`i, dari perkataannya. Dikatakan dalam hadits Rauh, bahwa ia berkata, “Hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam (yakni secara marfû’-pen-).” Hal serupa dinyatakan pula oleh Imam Al-Baihaqy.

Berkata Ibnu Hajar, “Akan tetapi perselisihan terletak pada Abu Al-Jauzâ`i. Ada yang mengatakan hadits ini darinya dari Ibnu ‘Abbâs, ada yang mengatakan darinya dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dan adapula yang mengatakan dari dia dari Ibnu ‘Umar. Bersamaan dengan itu, ada perselisihan (dalam riwayatnya), apakah hadits ini marfû’ (sampai kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam) atau mauqûf (sampai kepada shahabat). Dalam riwayat secara marfû’ juga ada perselisihan tentang kepada siapa hadits ini dikatakan, apakah kepada Al-‘Abbâs, Ja’far, ‘Abdullah bin ‘Amr, atau Ibnu ‘Abbâs. Ini adalah idhthirâb (kegoncangan) yang sangat keras, dan Ad-Dâraquthny banyak mengeluarkan jalan-jalan hadits ini dengan uraian perselisihannya.”

Lihat Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/314-315 dan Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41.

Terdapat pula jalan lain yang dikeluarkan oleh Dâraquthny dari ‘Abdullah bin Sulaimân bin Al-Asy’ats, dari Mahmûd bin Khâlid, dari seorang tsiqah (terpercaya) dari ‘Umar bin ‘Abdul Wâhid, dari Tsaubân, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya secara marfû’.

Saya berkata, “Mahmûd bin Khâlid tsiqah (terpercaya) demikian pula ‘Amr bin ’Abdul Wâhid, akan tetapi dalam sanadnya ada rawi mubham (tidak disebut namanya). Adapun Tsaubân, saya tidak mengetahui siapa dia.” Wallâhu A’lam.

Dikeluarkan pula oleh Ibnu Syâhin dari jalan yang lain, dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwasanya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-‘Abbâs …, kemudian dia menyebutkan seperti hadits Ibnu ‘Abbâs. Akan tetapi hadits ini lemah. Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41 dan Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/314-315.

Hadits Keenam

Hadits Ja’far bin Abi Thâlib.

Hadits ini mempunyai dua jalan:

Pertama , dari jalan Dâud bin Qais, dari Ismâ’il bin Râfi’, dari Ja’far, bahwa ia berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Inginkah engkau saya berikan …’,” kemudian dia menyebutkan haditsnya. Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf -nya 3/123 no.5004.

Dikeluarkan pula oleh Sa’id bin Manshûr dalam As-Sunan dan Al-Khatib dalam Kitab Shalat At-Tasbih , Sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/242 dari jalan yang lain, dari Abi Ma’syar Najîh bin Abdirrahman, dari Abu Râfi’ Ismail bin Râfi’, bahwa dia berkata, “Telah sampai kepada saya bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ja’far bin Abi Thâlib ….”

Saya berkata, “Ismâil bin Râfi’ dha’if (lemah haditsnya) bisa digunakan sebagai penguat. Akan tetapi hadits ini mursal sebagaimana yang kamu lihat.”

Kedua , dari jalan ‘Abdul Malik bin Hârun bin ‘Antarah, dari bapaknya, dari kakeknya, dari ‘Ali bin Ja’far, bahwa dia berkata, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku …,” kemudian dia menyebutkan haditsnya. Dikeluarkan oleh Ad-Dâraquthny sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41-42.

Saya berkata, “Abdul Malik ini matrûk (ditinggalkan haditsnya), bahkan dianggap pendusta oleh sebagian ulama dan dituduh memalsukan hadits.” Baca Mizânul I’tidâl .

Hadits Ketujuh

Hadits Al Fadhl bin ‘Abbâs.

Dikeluarkan Abu Nu’aim dalam Qurbân Al-Muttaqîn dari riwayat Musa bin Ismâ’il, dari ‘Abdil Hamîd bin Abdurrahman Ath-Thâ`iy, dari bapaknya, dari Abu Râfi’, dari Al-Fadhl bin ‘Abbâs, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda …, kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar, “Dan dalam sanadnya ada Abdul Hamid bin Abdirrahman Ath-Thâ`iy. Saya tidak mengenal dia dan saya tidak mengenal bapaknya, dan saya menduga bahwa Abu Râfi’ adalah guru Ath Thâ`iy, bukan Abu Râfi’ Ismâ’il bin Râfi’, salah seorang di antara orang yang lemah haditsnya”. Dari Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/310.

Hadits Kedelapan

Hadits ‘Ali bin Abi Thâlib.

Dikeluarkan oleh Ad-Dâraquthny dari jalan ‘Umar, maula ‘Afarah, bahwa dia berkata, “Bersabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali bin Abi Thâlib, ‘Wahai ‘Ali, saya akan memberimu hadiah …’,” kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar, “Dalam sanadnya terdapat kelemahan dan keterputusan.”

Saya berkata, “Sepertinya yang diinginkan oleh Al-Hâfidz Ibnu Hajar dengan kelemahan yaitu kelemahan pada ‘Umar, maula ‘Afarah, dan dia adalah ‘Umar bin ‘Abdillah Al-Madany, seorang yang dha’if (lemah haditsnya) , dan yang diinginkan dengan keterputusan adalah bahwa ‘Umar tidak pernah mendengar dari seorang shahabat pun.”

Hadits ini juga memiliki jalan yang lain yang dikeluarkan oleh Al-Wâhidy dalam Kitab Ad-Da’wât dari jalan Ibnu Al-Asy’ats, dari Musa bin Ja’far bin Ismâ ’il bin Mûsa bin Ja’far Ash Shâdiq, dari ayah-ayahnya secara berurut hingga sampai kepada ‘Ali.

Berkata Al Hâfidz Ibnu Hajar, “Sanad ini disebutkan oleh Abu ‘Ali dalam satu kitab yang dia susun dengan bab-bab yang semuanya dengan sanad ini, dan para ulama telah mengkritiknya (pengarangnya) dan mengkritik kitabnya.” Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/41.

Hadits Kesembilan

Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththâb.

Dikeluarkan oleh Al-Hâkim 1/629 no.1236, dan dia berkata, “Ini adalah sanad yang shahih. Tidak ada kotoran di atasnya.”

Hukum Al-Hâkim ini dikritik oleh Adz-Dzahaby dalam Talkhish -nya bahwa dalam sanadnya ada Ahmad bin Dâud bin ‘Abdul Ghaffâr Al-Harrâny, bahwa dia dinyatakan pendusta oleh Ad-Dâraquthny. Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah dan Mîzânul I’tidâl .

Al-Hâfidz Ibnu Hajar berkata dalam Ajwibah -nya, “Dan dikeluarkan oleh Muhammad bin Fudhail dalam kitab Ad-Du’â` dari jalan yang lain, dari Ibnu ‘Umar secara mauqûf.” Lihat Misykâtul Mashâbîh 3/1781.

Saya berkata, “Saya tidak melihat riwayat tersebut dalam kitab Ad-Du’â` , akan tetapi riwayat tersebut dikeluarkan oleh Ad-Dâraquthny dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abân bin Abi ‘Ayyâsy, dari Abu Al-Jauzâ`i, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. Abân bin Abi ‘Ayyâsy matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya) dan dia juga telah mudhtharib (goncang) dalam riwayatnya karena Ad-Dâraquthny juga meriwayatkan dari jalan Sufyân, dari Abân, dan dia berkata, “Dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Lihat Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/306.

Hadits Kesepuluh

Hadits ‘Abdullah bin Ja’far.

Dikeluarkan oleh Ad-Dâraquthny sebagaimana dalam Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/42 dari dua jalan, dari ‘Abdullah bin Ziyâd bin Sam’ân, dan dia berkata pada salah satu jalannya dari Mu’âwiyah dan Ismâ’il bin ‘Abdullah bin Ja’far. Dia berkata pula pada jalan lain dari ‘Aun pengganti Ismâ’il (yang terdapat di jalan pertama), dari ayah mereka berdua (Mu’âwiyah dan Ismâ’il atau Mu’âwiyah dan ‘Aun), bahwa dia berkata, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Maukah engkau saya berikan …’,” kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar “Ibnu Sam’ân adalah dha’if (lemah).”

Dia berkata dalam Taqrib At-Tahdzib , “Matrûk (ditinggalkan haditsnya) dan muttaham bilkadzib (tertuduh berdusta).”

Kegoncangan dalam sanad juga menambah lemah hadits ini. Wallâhu A’lam.

Hadits Kesebelas

Hadits Ummu Salamah Al-Anshâriyyah.

Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Qurbân Al-Muttaqîn dari Sa’îd bin Jubair, dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Al-‘Abbâs, “Wahai pamanku …,” Kemudian dia menyebutkan haditsnya.

Berkata Al-Hâfidz Ibnu Hajar, “Hadits ini gharib (aneh), dan ‘Amr bin Jumaî’, salah seorang rawi hadits ini, adalah lemah, dan mendengarnya Sa’îd bin Jubair dari Ummu Salamah masih perlu dilihat (yaitu tidak mendengar).” Wallâhu A’lam.

Saya berkata, “Amr bin Jumaî’ disebutkan dalam Mizânul I’tidâl , dan dia matrûk (ditinggalkan haditsnya), bahkan dinyatakan berdusta oleh Ibnu Ma’în dan dicurigai memalsukan hadits.”

Para Ulama yang Menshahihkan Hadits Shalat Tasbih

   1. Abu Dâud As-Sijistâny. Beliau berkata, “Tidak ada, dalam masalah shalat Tasbih, hadits yang lebih shahih dari hadits ini.”
   2. Ad-Dâraquthny. Beliau berkata, “Hadits yang paling shahih dalam masalah keutamaan Al-Qur`ân adalah (hadits tentang keutamaan) Qul Huwa Allâhu Ahad, dan yang paling shahih dalam masalah keutamaan shalat adalah hadits tentang shalat Tasbih.”
   3. Al-Âjurry.
   4. Ibnu Mandah.
   5. Al-Baihaqy.
   6. Ibnu As-Sakan.
   7. Abu Sa’ad As-Sam’âny.
   8. Abu Musa Al-Madiny.
   9. Abu Al-Hasan bin Al-Mufadhdhal Al-Maqdasy.
  10. Abu Muhammad ‘Abdurrahim Al-Mishry.
  11. Al-Mundziry dalam At-Targhib Wa At-Tarhib dan Mukhtashar Sunan Abu Dâud .
  12. Ibnush Shalâh. Beliau berkata, “Shalat Tasbih adalah sunnah, bukan bid’ah. Hadits-haditsnya dipakai beramal dengannya.”
  13. An-Nawawy dalam At-Tahdzîb Al - Asma` Wa Al-Lughât .
  14. Abu Manshur Ad Dailamy dalam Musnad Al-Firdaus .
  15. Shalâhuddin Al-‘Alâi. Beliau berkata, “Hadits shalat Tasbih shahih atau hasan, dan harus (tidak boleh dha’if).”
  16. Sirajuddîn Al-Bilqîny. Beliau berkata, “Hadits shalat tasbih shahih dan ia mempunyai jalan-jalan yang sebagian darinya menguatkan sebagian yang lainnya, maka ia adalah sunnah dan sepantasnya diamalkan.”
  17. Az-Zarkasyi. Beliau berkata, “Hadits shalat Tasbih adalah shahih dan bukan dha’if apalagi maudhu’ (palsu).”
  18. As-Subki.
  19. Az-Zubaidy dalam Ithâf As-Sâdah Al-Muttaqîn 3/473.
  20. Ibnu Nâshiruddin Ad-Dimasqy.
  21. Al-Hâfidz Ibnu Hajar dalam Al-Khishâl Al-Mukaffirah Lidzdzunûb Al-Mutaqaddimah Wal Muta`Akhkhirah , Natâijul Afkâr Fî Amâlil Adzkâr dan Al-Ajwibah ‘Alâ Ahâdits Al-Mashâbîh .
  22. As-Suyûthy.
  23. Al-Laknawy.
  24. As-Sindy.
  25. Al-Mubârakfûry dalam Tuhfah Al-Ahwadzy .
  26. Al-‘Allamah Al-Muhaddits Ahmad Syâkir rahimahullâh.
  27. Al-‘Allamah Al-Muhaddits Nâshiruddîn Al-Albâny rahimahullâh dalam Shahîh Abi Dâud (hadits 1173-1174), Shahîh At-Tirmidzy , Shahîh At-Targhib (1/684-686) dan Tahqîq Al-Misykah (1/1328-1329).
  28. Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hâdy Al-Wâdi’iy rahimahullâh dalam Ash-Shahîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fî Ash-Shahihain .

Lihat Al-Alâ`i Al-Mashnû’ah 2/42-45, Al-Futûhât Ar-Rabbâniyyah 4/318-322, Al-Adzkâr karya Imam An-Nawawy dengan tahqiq Salim Al-Hilaly 1/481-482, dan Bughyah Al-Mutathawwi` hal. 98-99.

Kesimpulan

Nampak dengan sangat jelas dari uraian di atas, bahwa hadits-hadits shalat tasbih adalah hadits yang shahih atau hasan, dan tidak ada keraguan akan hal tersebut. Wallâhu A’lam.

Catatan Penting

Ada beberapa ulama yang melemahkan hadits shalat tasbih ini, akan tetapi, andaikata bukan karena kekhawatiran pembahasan ini menjadi lebih panjang, niscaya akan kami sebutkan perkataan-perkataan para ulama tersebut dan dalil-dalil mereka berikut dengan bantahan terhadap mereka. Wallâhul Musta’ân.

Kandungan Faidah Shalat Tasbih

    * Tata Cara Shalat

Secara umum, shalat tasbih sama dengan tata cara shalat yang lain, hanya saja ada tambahan bacaan tasbih yaitu:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Lafadz ini diucapkan sebanyak 75 kali pada tiap raka’at dengan perincian sebagai berikut.

    * Sesudah membaca Al-Fatihah dan surah sebelum ruku sebanyak 15 kali,
    * Ketika ruku’ sesudah membaca do’a ruku’ dibaca lagi sebanyak 10 kali,
    * Ketika bangun dari ruku’ sesudah bacaan i’tidal dibaca 10 kali,
    * Ketika sujud pertama sesudah membaca do’a sujud dibaca 10 kali,
    * Ketika duduk diantara dua sujud sesudah membaca bacaan antara dua sujud dibaca 10 kali,
    * Ketika sujud yang kedua sesudah membaca do’a sujud dibaca lagi sebanyak 10 kali,
    * Ketika bangun dari sujud yang kedua sebelum bangkit (duduk istirahat) dibaca lagi sebanyak 10 kali.

Demikianlah rinciannya, bahwa shalat Tasbih dilakukan sebanyak 4 raka’at dengan sekali tasyahud, yaitu pada raka’at yang keempat lalu salam. Bisa juga dilakukan dengan cara dua raka’at-dua raka’at, di mana setiap dua raka’at membaca tasyahud kemudian salam. Wallâhu A’lam.

    * Jumlah Raka’at

Semua riwayat menunjukkan 4 raka’at, dengan tasbih sebanyak 75 kali tiap raka’at, jadi keseluruhannya 300 kali tasbih.

    * Waktu Shalat

Waktu shalat tasbih yang paling utama adalah sesudah tenggelamnya matahari, sebagaimana dalam riwayat ‘Abdullah bin Amr. Tetapi dalam riwayat Ikrimah yang mursal diterangkan bahwa boleh malam hari dan boleh siang hari. Wallâhu A’lam.

    * Catatan

Terdapat pilihan dalam shalat ini. Jika mampu, bisa dikerjakan tiap hari. Jika tidak mampu, bisa tiap pekan. Jika masih tidak mampu, bisa tiap bulan. Jika tetap tidak mampu, bisa tiap tahun atau hanya sekali seumur hidup.Karena itu, hendaklah kita memilih mana yang paling sesuai dengan kondisi kita masing-masing.

Kesimpulan

Hadits tentang shalat tasbih adalah hadits yang tsabit/sah dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka boleh diamalkan sesuai dengan tata cara yang telah disebutkan diatas.

Penutup

Untuk melengkapi pembahasan yang singkat ini, maka kami juga sertakan penyimpangan-penyimpangan (bid’ah–bid’ah) yang banyak terjadi sekitar pelaksanaan shalat tasbih, di antaranya:

   1. Mengkhususkan pelaksanaannya pada malam Jum’at saja.
   2. Dilakukan secara berjama’ah terus menerus.
   3. Diiringi dengan bacaan-bacaan tertentu, baik sebelum maupun sesudah shalat.
   4. Tidak mau shalat kecuali bersama imamnya, jamaahnya, atau tarekatnya.
   5. Tidak mau shalat kecuali di masjid tertentu.
   6. Keyakinan sebagian orang yang melakukannya bahwa rezekinya akan bertambah dengan shalat tasbih.
   7. Membawa binatang-binatang tertentu untuk disembelih saat sebelum atau sesudah shalat tasbih, disertai dengan keyakinan-keyakinan tertentu.

Sumber : http://an-nashihah.com/?p=13

Meraih Ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Cinta-Nya dalam Hidup Bertetangga

 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
“Sebaik-baik sahabat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang terbaik kepada sahabatnya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.”

Takhrij Hadits
Hadits yang mulia ini diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dalam As-Sunan, Kitab Al-Birr Wash-shilah Bab Ma Ja`a Fi Haqqil Jiwar (1/353) no. 1944, Ad-Darimi dalam As-Sunan (2/215) no. 2441, Ibnu Hibban dalam Ash-Shahih no. 518 dan 519, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/101) dan (4/164), Ahmad bin Hanbal dalam Al-Musnad (2/167-168), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad Bab Khairul Jiran no. 115, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 9541, dan Ibnu Bisyran dalam Al-’Amali (1/143).
Hadits di atas berasal dari jalan Haiwah bin Syuraih dan Ibnu Lahi’ah, keduanya dari Syurahbil bin Syarik, dari Abu Abdirrahman Al-Hubuli, dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash1 radhiyallahu ‘anahu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melalui dua perawi ini2 semua meriwayatkan hadits Ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anahu, kecuali At-Tirmidzi, Al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. Mereka hanya menyebutkan Haiwah bin Syuraih tanpa menyertakan Ibnu Lahi’ah.
Hadits ini shahih, wallahu a’lam. Adapun kelemahan pada Ibnu Lahi’ah, tidak membahayakan karena dia meriwayatkan bersama Haiwah bin Syuraih At-Tamimi Al-Mishri.3 Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Demikian pula Ibnu Bisyran menshahihkannya, dan dihasankan oleh At-Tirmidzi rahimahumullah.
Al-Hakim An-Naisaburi berkata: “Shahih ‘ala syarthi Asy-Syaikhain (Hadits ini shahih sesuai syarat dua Syaikh, yakni Al-Bukhari dan Muslim).”4
At-Tirmidzi berkata: “Haditsun hasanun gharib (Hadits ini hasan gharib).”
Ibnu Bisyran5 berkata: “Haditsun shahihun wa isnaduhu kulluhum tsiqat (Hadits ini shahih dan sanadnya semuanya rawi-rawi tepercaya).”
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Ash-Shahihah (1/211) no. 103.

Islam Mengatur Adab Bertetangga
Sebagai makhluk sosial, mustahil bagi kita hidup menyendiri tanpa tetangga atau orang lain. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita saling membantu di atas kebaikan dan takwa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma`idah: 2)
Hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anahu yang ada di hadapan kita, adalah sekian dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajarkan seorang muslim dalam berakhlak dan bermuamalah dengan tetangganya.6
Tetangga adalah orang terdekat dalam kehidupan. Tidaklah seseorang keluar dari rumah melainkan dia lewati tetangganya. Di saat dirinya membutuhkan bantuan, tetanggalah orang pertama yang dia ketuk pintunya. Bahkan di saat dia meninggal bukan kerabat jauh yang diharapkan mengurus dirinya, tetapi tetanggalah yang dengan tulus bersegera menyelenggarakan pengurusan jenazahnya.
Begitu penting dan mulianya tetangga, Islam datang mengajarkan adab-adab bertetangga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (An-Nisa`: 36)
Cukuplah ayat ini sebagai hujah atas manusia untuk mereka selalu berbuat baik dan berakhlak mulia kepada tetangga.
Pembaca rahimakumulah, sejenak kita simak beberapa faedah dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anahu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong umatnya untuk berbuat baik kepada tetangga dengan segala bentuk kebaikan.
Sabda ini juga memberikan faedah bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam berbuat baik kepada tetangga. Semakin baik seseorang kepada tetangga, semakin mulia dan tinggi pula derajatnya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam hadits ini ada isyarat yang sangat lembut untuk berlomba dalam berbuat baik kepada tetangga agar menjadi yang terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah dunia, di atas kefanaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan dia sebagai ladang beramal dan berlomba meraih kedekatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al-Ma`idah: 35)
Bagaimana Berbuat dan Berakhlak Baik pada Tetangga?
Pertanyaan yang penting ini tidaklah terjawab kecuali dengan menapaki perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai teladan terbaik dalam segala sisi kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Ayat ini adalah kaidah dalam kita mengarungi samudera kehidupan termasuk di dalamnya hidup bertetangga.
Pembaca rahimakumullah, seorang dikatakan berbuat baik dan memiliki adab mulia kepada tetangga jika dia wujudkan dua pokok penting, yang keduanya ditunjukkan dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama: Menahan diri dari segala bentuk kezaliman dan perkara yang mendatangkan mudarat kepada tetangga.
Kedua: Berbuat baik dan menempuh segala sebab syar’i yang mendatangkan kebaikan bagi tetangga.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah berkata: “Hak tetangga adalah hak-hak yang sangat ditekankan atas tetangganya. Hadits-hadits telah datang begitu banyak, memberi dorongan untuk memuliakan tetangga sekaligus mengancam dari menyakiti tetangga atau menimpakan kemudaratan kepadanya… Memuliakan tetangga terwujud dengan menyampaikan kebaikan kepada mereka dan selamatnya mereka dari kejelekannya.” (diringkas dari risalah Fathu Al-Qawiyyil Matin Fi Syarhil Arba’in Wa Tatimmatil Khamsin, hal. 62-63)

Meninggalkan Segala Bentuk Kezaliman dan Perkara yang Memudaratkan Tetangga
Pembaca, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati kita, pokok pertama ini ditunjukkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمَ الْآخِرْ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia sakiti tetangganya.”7
Jeleknya hubungan bertetangga sering kita saksikan, terlebih di akhir zaman di tengah rusaknya agama dan tatanan kehidupan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hal tersebut adalah satu dari sekian banyak tanda dekatnya hari kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الفُحْشُ وَالتَّفَاحُشُ وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ وَسُوْءُ الْمُجَاوَرَةِ
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga tampak perzinaan, perbuatan-perbuatan keji, pemutusan silaturrahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.”8
Apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan benar-benar menjadi kenyataan. Perzinaan mewabah bahkan dilegalkan. Manusia berlomba saling menjatuhkan dan memutus tali kekerabatan. Rusaknya hubungan bertetangga dan jeleknya muamalah di antara mereka pun terwujud dan tampak nyata.
Seseorang tidak lagi mengenal tetangga yang hanya berbatas tembok. Jangankan untuk memerhatikan kebutuhan dan keadaannya, mengucap salam dan bertegur sapa pun menjadi hal yang sulit dijumpai.
Kezaliman pada tetangga dengan berbagai ragamnya sangat banyak terjadi. Bahkan membunuh tetangga sering kita dengar di sejumlah berita. Allahu akbar! Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam empat belas abad silam:
لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَقْتُلَ الرَّجُلُ جَارَهُ وَأَخَاهُ وَأَبَاهُ
“Hari kiamat tidak akan dibangkitkan hingga seseorang membunuh tetangga, saudara, dan bapaknya.”

Zalim Kepada Tetangga Lebih Berat di Sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan atas hamba-Nya segala bentuk kezaliman. Tetapi kezaliman kepada tetangga jauh lebih berat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada kezaliman kepada selain mereka. Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anahu salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan:
سَأَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ عَنِ الزِّنَى، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ. وَسَأَلَهُمْ عَنِ السَّرِقَةِ، قَالُوا: حَرَامٌ حَرَّمَهَا اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولُهُ. فَقَالَ: لَأَنْ يَسْرِقَ مِنْ عَشْرَةِ أَهْلِ أَبْيَاتٍ أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ بَيْتِ جَارِهِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang zina? Mereka mengatakan: “Zina itu haram, telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian beliau bersabda: “Sungguh seseorang berzina dengan sepuluh wanita lebih ringan baginya daripada berzina dengan istri tetangganya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa pendapat kalian tentang mencuri?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, mencuri adalah haram.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh seseorang mencuri dari sepuluh rumah lebih ringan atasnya daripada mencuri dari rumah tetangganya.”10
Di kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa menyakiti tetangga adalah sebab terjerumusnya seseorang dalam neraka meskipun dia adalah ahli ibadah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu berkata:
قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةَ تَقُومُ اللَّيْلَ وَتَصُومُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقُ وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ خَيْرَ فِيْهَا، هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
Dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah sesungguhnya fulanah senantiasa melakukan shalat malam, berpuasa di siang hari, banyak beribadah dan bersedekah, tetapi dia selalu menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada kebaikan pada dirinya, dia termasuk penghuni neraka.”11
Bahkan dalam sabda yang lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan keimanan dari orang yang berbuat zalim kepada tetangganya. Abu Syuraih radhiyallahu ‘anahu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللهِ لاَ يُؤْمِنُ. قِيْلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Rasul ditanya: “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya.”12
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil akan haramnya berbuat zalim kepada tetangga, baik dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Di antara kezaliman dalam bentuk perkataan adalah memperdengarkan kepada tetangga suara yang mengganggu, seperti radio, televisi, atau suara sejenis yang mengganggu. Sesungguhnya hal ini tidaklah halal, meskipun yang diperdengarkan adalah bacaan Al-Qur`an, (selama itu) mengganggu tetangga berarti dia telah berbuat zalim. Maka tidak halal baginya untuk melakukannya.13
Adapun (kezaliman dalam bentuk) perbuatan, seperti membuang sampah di sekitar pintu tetangga, mempersempit pintu masuknya, atau perkara semisalnya yang merugikan tetangga. Termasuk dalam hal ini adalah jika seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain di sekitar tembok tetangga, ketika dia menyirami, (airnya berlebih hingga) melampaui tetangganya. Ini pun sesungguhnya termasuk kezaliman yang tidak halal baginya.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 2/178)
Meninggalkan kezaliman atas tetangga adalah pokok yang sangat penting dalam bermuamalah dengan tetangga. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selamatkan kita dari segala bentuk kezaliman yang pada hakikatnya adalah kegelapan di hari kiamat. Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.”14

Berbuat Baik Kepada Tetangga dan Menempuh Segala Sebab yang Mendatangkan Kebaikan Kepadanya
Dalil bagi pokok kedua adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الْآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berbuat baiklah kepada tetangganya.”15
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita berbuat baik dan mencintai orang-orang yang berbuat baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)
Berbuat baik tidak terbatas pada manusia, bahkan kepada hewan, syariat Islam pun memerintahkannya.16
Di samping perintah yang bersifat umum, secara khusus Islam memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada tetangga. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa ihsan kepada mereka termasuk dari iman dan syarat kesempurnaan iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Hadits ini menunjukkan wajibnya memuliakan tetangga, berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya’.”
Memuliakan dalam hadits ini bersifat mutlak (mencakup segala bentuk pemuliaan). Maka (perlu) dikembalikan kepada ‘urf (adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat). Terkadang pemuliaan terwujud dengan cara mengunjungi tetangga, mengucapkan salam dan bertamu kepada mereka, bisa jadi dengan cara memberinya hadiah-hadiah. Masalah ini dikembalikan kepada ‘urf. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah hal. 201-203)
Keterangan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu sangat berharga dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat. Adat masyarakat yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat seharusnya diperhatikan dalam mewujudkan keharmonisan hidup bertetangga, terlebih jika adat tersebut memberi nilai positif bagi dakwah tauhid.
Sebagai misal, dalam adat masyarakat Jawa, dikenal adanya bahasa halus yang digunakan sebagai bentuk penghormatan yaitu “krama inggil”. Biasanya bahasa ini digunakan untuk mengajak bicara orang yang lebih tua atau dihormati. Maka termasuk ikram (memuliakan) kepada tetangga –allahu a’lam– adalah mengajak bicara mereka dengan bahasa “krama”, sebagai bentuk penghormatan, apalagi tetangga yang sudah berumur.
Demikian pula adat-adat lain, selama adat tersebut tidak menyelisihi syariat dan termasuk perbuatan baik maka adat tersebut masuk dalam bentuk pemuliaan yang disebut secara mutlak dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Pembaca rahimakumullah, di pengujung pembahasan pokok kedua ini, perlu kiranya kita menengok beberapa bentuk pemuliaan yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-haditsnya yang mulia. Di antara bentuk pemuliaan adalah:
a. Membantu kebutuhan pokok tetangga yang membutuhkan jika dia memiliki kelebihan.
Membantu kebutuhan pokok tetangga seperti makan jika mereka kelaparan atau pakaian jika mereka telanjang hukumnya wajib, apabila dia memiliki kelebihan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ
“Tidaklah beriman seorang yang kenyang sementara tetangganya lapar di sisinya.”17
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini ada dalil yang jelas tentang haramnya orang kaya membiarkan tetangga-tetangganya dalam keadaan lapar. Oleh karena itu wajib atasnya menyuguhkan kepada mereka sesuatu yang bisa menghilangkan lapar. Demikian pula memberi pakaian jika mereka telanjang dan yang semisalnya dari kebutuhan-kebutuhan yang dharuri (bersifat pokok).
Dalam hadits ini terdapat peringatan bahwasanya ada kewajiban lain pada harta selain zakat. Maka janganlah orang-orang kaya menyangka telah bebas dari kewajiban hanya dengan mengeluarkan zakat setiap tahunnya. Bahkan ada kewajiban-kewajiban lain atas mereka dalam situasi dan kondisi tertentu yang wajib mereka tunaikan. Jika tidak, mereka akan masuk dalam ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ. يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (At-Taubah: 34-35) [Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/280-281]
b. Mempersilakan tetangga memasang kayu pada temboknya selama tidak merugikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبةً فِيْ جِدَارِهِ
“Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian menghalangi tetangganya untuk memasang kayu di temboknya.”18
Makna hadits ini sebagaimana diterangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu: “Jika tetanggamu hendak mengatapi rumahnya dan (dia perlu) meletakkan kayu pada tembokmu, maka tidak boleh bagimu melarangnya. Karena (keberadaan) kayu tersebut tidak membahayakan, bahkan akan memperkuat (tembok) dan mencegah aliran air dengannya.
Terlebih (konstruksi) bangunan tempo dulu di mana rumah-rumah dibangun dengan tanah yang dipadatkan, maka keberadaan kayu justru akan mencegah mengalirnya air hujan pada tembok ....”19
Permasalahan memasang kayu serupa dengan keputusan Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu ketika terjadi sengketa antara Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anahu dan tetangganya.
Ketika itu (Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anahu) bermaksud mengalirkan air menuju kebunnya akan tetapi terhalangi kebun tetangganya (sehingga air tidak mungkin dialirkan kecuali harus melewati kebun tersebut). Tetangga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anahu (bersikeras) menghalanginya untuk membuat aliran di atas tanah kebun miliknya. Maka keduanya mengangkat permasalahan kepada Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu. ‘Umar berkata: “Demi Allah jika engkau menghalangi, aku akan mengalirkan air melalui perutmu, dan aku perintahkan dia untuk mengalirkan air.”
(Keputusan ini) karena mengalirkan air melalui tanah kebun tidaklah merugikan, bahkan kebun yang dilaluinya akan mendapat manfaat dengan aliran tadi. Terkecuali jika memang si pemilik kebun hendak membangun bangunan di atas tanahnya dan tidak memungkinkan untuk mengalirkan air di atasnya, maka tidak mengapa baginya untuk melarang. (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/179-180)
c. Memberi hadiah kepada tetangga, seperti memperbanyak kuah ketika memasak.
Memberi hadiah atau bingkisan kepada tetangga termasuk kebaikan yang diwasiatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saling memberi hadiah adalah salah satu sebab di antara sebab-sebab terwujudnya cinta dan kasih sayang. Sampai-sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anahu:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَ الْمَرَقَةِ وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ أَوِ اقْسِمْ فِي جِيرَانِكَ
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak gulai, perbanyaklah kuahnya, perhatikan tetanggamu, dan bagilah untuk tetanggamu.”20
Demikian beberapa teladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbuat baik kepada tetangga. Tiga contoh di atas bukanlah pembatasan mengingat banyaknya bentuk ihsan (berbuat baik). Maka seharusnya seorang muslim berusaha mewujudkan hal ini dengan berbagai bentuk kebaikan, baik ucapan atau perbuatan, seperti memenuhi undangan, memberikan nasihat, berdakwah, berziarah (berkunjung), menjenguk di kala sakit atau menutup aib-aib, juga segala bentuk kebaikan menurut adat yang berlaku selama tidak bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pembaca rahimakumulah, ketahuilah bahwa berbuat baik kepada tetangga termasuk pokok dakwah yang diserukan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Dan di antara pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah .... mereka memerintahkan yang ma’ruf dan melarang kemungkaran, sesuai yang dituntunkan syariat. Mereka memerintahkan berbakti kepada orangtua, menyambung kekerabatan, dan berbuat baik kepada tetangga.” (Muqaddimah Al-Qaulus Sadid Syarh Kitabit Tauhid hal.35)
Begitu besar hak tetangga hingga Jibril q senantiasa mewasiatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tetangga. Beliau bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Senantiasa Jibril mewasiatiku dengan tetangga hingga aku menyangka bahwa tetangga akan mewarisi.”21

Akhlak Mulia adalah Keharusan dalam Dakwah
Akhlak mulia sangat dibutuhkan dalam hidup bertetangga dan bermasyarakat, bahkan dia adalah keharusan dalam dakwah. Dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang dipenuhi kelembutan dan kasih sayang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang sangat lembut dan dekat dengan umatnya. Bahkan rumah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu terbuka tanpa penjaga pintu, tidak sebagaimana kebiasaan raja-raja dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Dakwah akan diberkahi dengan tauhid dan akhlakul karimah. Janganlah akhlak yang buruk justru menjadi sebab manusia lari dari kebenaran. Sungguh menggembirakan kala kita mendengar banyak ma’had-ma’had (pondok-pondok pesantren, red.) Ahlus Sunnah berdiri di negeri yang sedang dilanda berbagai badai fitnah. Namun perlu diingat bahwa perkembangan tadi harus dihiasi dengan akhlak mulia. Jalinlah hubungan baik dengan masyarakat terutama tetangga. Berziarahlah (berkunjunglah) kepada mereka dengan adab-adab Islam. Jangan menjadikan kaum muslimin yang awam akan agama sebagai musuh. Justru mereka merupakan lahan dakwah yang membutuhkan tetesan kasih sayang.
Pembaca rahimakumullah, kita akhiri majelis ini dengan sebuah wasiat bagi seluruh muslimin untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kembali menelaah serta meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah jalan kebahagiaan dan kejayaan. Inilah jalan kemenangan dan manhaj kehidupan, untuk menggapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan cinta-Nya. Wallahu a’lam.
Washallalahu ‘ala Muhammad wa alihi wa shahbihi. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

1 Beliau adalah Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anahu, bertemu nasabnya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’b bin Lu`ai. Beliau meninggal tahun 65 H.
2 Yakni Haiwah bin Syuraih dan Ibnu Lahi’ah.
3 Hadits ini juga datang dari jalan Abdulah bin Yazid Al-Muqri` di mana dia mendengar hadits Ibnu Lahi’ah sebelum kitab-kitabnya terbakar dan sebelum hafalannya berubah.
4 Faedah: Riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ada dua kerancuan. Pertama: Al-Hakim mengganti Syurahbil bin Syarik dengan rawi lain yaitu Syurahbil bin Muslim. Kedua: Perkataan Al-Hakim: “Hadits ini shahih menurut syarat Asy-Syaikhain” tidaklah tepat, karena Syurahbil bin Muslim meskipun tsiqah, tetapi Muslim tidak mengeluarkan haditsnya dalam Ash-Shahih. Adapun Syurahbil bin Syarik hanya dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dan tidak dikeluarkan haditsnya oleh Al-Bukhari. Lihat As-Shahihah (1/212). Al-Mundziri dalam At-Targhib Wat-Tarhib (3/360) menyebutkan bahwa Al-Hakim menghukuminya sebagai hadits shahih sesuai syarat Al-Imam Muslim, sehingga ada kemungkinan lain bahwa kesalahan bukan dari Al-Hakim, tetapi dari percetakan atau dari penyalin. Allahu a’lam.
5 Beliau adalah Abdul Malik bin Muhammad bin Abdillah bin Bisyran, meninggal 430 H.
6 Al-Bukhari misalnya, beliau kumpulkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan hak-hak tetangga dalam 28 bab khusus dalam Al-Adabul Mufrad, diawali dengan kitab Al-Wushat bil Jar (Wasiat berbuat baik kepada tetangga) dan diakhiri dengan bab Jar Al-Yahudi (Tetangga Yahudi).
7 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no. 4787.
8 Shahih, diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya (10/26-31) dengan tahqiq Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu. Beliau berkata: “Sanadnya shahih.” Diriwayatkan juga oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/75-76) dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anahu.
9 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Bab Al-Jar As-Suu` dari hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anahu.
10 Shahih, diriwayatkan Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/8), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 103), dan Ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir (20/605).
11 Shahih, diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad (2/440), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 119).
12 HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shahih no. 6016 dan Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (4/31 dan 6/385).
13 Terlebih jika tetangga dalam keadaan sakit, suara-suara keras termasuk bacaan Al-Qur`an membuatnya tidak bisa beristirahat. Lalu bagaimana jika yang diperdengarkan adalah suara-suara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan seperti musik dan sejenisnya? Sungguh, dosa di atas dosa!
14 Muttafaqun ‘alaihi dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu.
15 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 102
16 Sebagaimana ditunjukkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan untuk berlaku baik terhadap segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh berlaku baiklah dalam membunuh dan apabila kalian menyembelih berlaku baiklah dalam menyembelih. Dan hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.” (HR. Muslim) dalam Ash-Shahih (13/1955) dengan syarah An-Nawawi dari hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anahu.
17 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 112 dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/278) hadits no. 149.
18 HR. Al-Bukhari no. 3463 dan Muslim no. 1609 dalam Shahih keduanya.
19 Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata: “Mazhab Al-Imam Ahmad bahwasanya seseorang harus baginya mempersilakan tetangganya meletakkan kayu pada temboknya jika tetangga membutuhkan dan tidak membahayakan tembok, berdasar hadits yang shahih ini.” (Jami’ Al-’Ulum wal Hikam, 1/352)
20 Shahih, diriwayatkan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 114
 
Sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=726